Hubungan kaidah di muka Bumi :


1. Kodok
 adalah spesis hewan yang dapat hidup di dua tempat, air dan darat (ampibi). Kalau melihatnya sebagai hewan yang dapat hidup di air maka ia adalah halal dimakan. Rasul SAW. mengatakan: "Ia (laut) adalah yang suci airnya dan yang halal bangkainya" (Turmudzi dan Nasa i). Artinya, segala hewan yang dapat hidup di air adalah halal dimakan. Namun melihatnya sebagai hewan yang dapat hidup di darat, ia adalah jenis hewan melata yang dianggap menjijikkan, sehingga memakannya adalah haram.

Menurut alur fikih demikian ini, yang didukung oleh ulama-ulama Syafi'iyah, maka kodok adalah hewan yang haram dimakan. Karena ia mengandung unsur haram (darat) dan unsur halal (laut), dan sesuai dengan kaidah dimuka, maka yang menentukan adalah unsur haramnya.

Di samping itu sebagian besar ulama (selain Malikiyah) mengharamkan kodok karena Nabi saw. melarang membunuh kodok (HR. Abu Dawud, Ahmad, dll). Biasanya Nabi melarang membunuh suatu hewan itu adakalanya karena haram memakannya, atau karena memulyakannya, atau kedua-duanya.

2. Rajungan
halal, karena ia ternasuk hewan yang hanya mampu hidup di laut (air).

3. Kepiting:
           
Para ulama di Indonesia, yang merupakan pengikut madzhab Syafi'iyah, berselisih pendapat, sesuai dengan asumsinya masing-masing. Sebagian mengatakan, bahwa kepiting adalah jenis hewan ampibi, maka hukumnya haram dimakan. Dan sebagian yang lain mengatakan, bahwa ia hanya mampu hidup di air saja, maka ia halal dimakan.

Kalau menurut saya, ia adalah jenis hewan yang hanya mempu hidup dengan bantuan air. Ia mampu hidup di darat asalkan ditaruh ditempat yang basah. Jadi, ia adalah halal dimakan.

4. Penyu.
            Menurut ulama-ulama Syafi'iyah, ia haram dimakan karena dianggap sebagai hewan darat atau setidak-tidaknya ia adalah jenis hewan ampibi. Sementara menurut Malikiyah, hewan dianggap sebagai jenis "hewan air", jika ia mampu hidup di dalam air, walaupun juga mampu hidup di daratan. Sehingga menurut teori fikih Malikiyah ini, katak, rajungan dan kepiting hukumnya halal.
Adapan penyu menurut Imam Malik, mempunyai dua jenis, yang pertama adalah jenis air (sulah)

5. Kelinci. 
  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
 “Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliau pun menerimanya”.
 Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”.
faah) dan jenis darat (tursul maa'). Jenis pertama halal (walaupun tanpa disembelih) dan jenis kedua halal dengan syarat harus disembelih secara syar'iy.

6. Belalang.
 Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan.
Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
 “Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak tujuh peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)                                                                               

7. Kadal padang pasir

 Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi ’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhobbun adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang dhobbun:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
 “Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhobbun) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
 Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhobbun bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:

لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
 “ Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]

8. Yarbu’. (2)
 Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi ’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]

9. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
 Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“ Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali.” (HR. Muslim)
Adapun cicak dan termasuk di dalamnya tokek, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslin tentang anjuran membunuh wazag (cicak). (Lihat keterangan tambahan di: http://al-atsariyyah.com/?p=1161) [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]

No comments:

Post a Comment