MUI Tidak Mengharamkan BPJS

Inilah dampak dari kebebasan mengeluarkan pendapat yang ada di negara demokrasi ini. Kebebasan tersebut dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin menghancurkan negara indonesia ini dengan mengkambinghitamkan suku, agama, ras, dan budaya. Salah satunya adalah kebijakan MUI yang menganggap BPJS itu haram padahal tidak demikian. 







Di balik pemberitaan tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang BPJS Kesehatan, ada kesan mendiskreditkan dan mengebiri MUI. Modusnya beragam. Setidaknya ada tiga sebagai berikut.

Pertama, media memberitakan dengan gencar bahwa MUI telah memfatwakan BPJS Kesehatan haram. Ada yang membuat judul “MUI Haramkan BPJS Kesehatan”, “Fatwa MUI Nyatakan BPJS Haram”, dan sejenisnya. Intinya, diberitakan segencar-gencarnya bahwa MUI telah memfatwakan BPJS Kesehatan hukumnya haram.

Padahal, dalam Keputusan Komisi B2 Masail Fiqhiyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 tentang Panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan, MUI tidak menyebut “haram.” MUI hanya memberikan dua rekomendasi dalam Keputusan tersebut, tepatnya di halaman 61, yaitu:

    agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka Jaminan Kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk negeri sebagai wujud pelayanan publik sebagai modal dasar bagi terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa melihat latar belakangnya;
    agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS Kesehatan agar sesuai dengan prinsip syariah

Setelah pemberitaan gencar dengan headline MUI memfatwakan BPJS Kesehatan haram, masyarakat pun ribut. Kegaduhan terlihat di media sosial akibat pemberitaan yang kurang tepat tersebut.

Di saat demikian, barulah dimuat bahwa tidak ada kosa kata haram di rekomendasi MUI tentang BPJS Kesehatan.

Pada tahap ketiga, dan ini yang paling berbahaya, sejumlah media memberikan judul yang terkesan menggiring opini publik untuk menilai bahwa MUI plin-plan. Ada media sekuler yang memberikan judul “MUI Rapat 2,5 Jam Dengan OJK, Hasilnya BPJS Kesehatan Tidak Haram” dan sejenisnya. Kesannya, semula MUI memfatwakan haram lalu tidak jadi haram. Hal itu bisa ditangkap dari banyaknya komentar di media tersebut yang menjelek-jelekkan MUI dan menuduhnya bukan-bukan. Tentu tidak diketahui dengan jelas apakah orang-orang yang menuliskan komentar tersebut muslim atau non muslim. Padahal MUI tidak pernah plin-plan. MUI tetap konsisten.

Mengapa ada pihak yang ingin menjatuhkan MUI? Menjatuhkan ulama? Karena jika para ulama jatuh dan dijelek-jelekkan, mereka akan dapat dengan mudah meghantam Islam. Sebab para ulama adalah benteng Islam. Mereka-lah para penjaga umat. Maka, marilah waspada terhadap segala langkah yang terindikasi menjatuhkan para ulama. [Syaifullah/Bersamadakwah.com]

Sebenarnya menurut pandangan saya sebagai salah satu orang yang memiliki hobby menulis artikel di social media kebanyakan mereka lebih mementingkan judul yang sekiranya mampu membuat artikel atau berita mereka itu dapat dibaca dan dikunjungi oleh banyak orang. Mungkin dengan adanya judul yang cocok dan bagus akan menambah jumlah kunjungan dan tentu akan meningkatkan pendapatan mereka. Jadi mungkin yang perlu diperbaiki adalah pembuatan judul dala pemberitaan yang seharusnya dibuat setelah kita faham betul artikel atau berita yang akan kita sampaikan. Sehingga tidak menimbulkan kesalah fahaman yang mengglobal.

No comments:

Post a Comment