Sebagai seorang laki-laki yang baru menikah mungkin pengetahuan mengenai tanggung jawab seorang suami belum dikuasai secara menyeluruh. Rasa egois maish menyelimuti masing-masing individu meskipun sudah melaksanakan ijab qobul di depan penghulu, terlebih bagi para laki-laki yang menikahi perempuan karir yang mungkin memiliki penghasilan lebih banyak. tidak sedikit diantara mereka yang memegang komitmen untuk tidak menafkahi seorang istri dengan alasan sama-sama bekerja. namun apakah itu dibenarkan dalam islam?
Seperti dikutip dari Zulfikar dari situs bincangsyariah.com di mana seorang suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Sebagai seorang suami, ia merupakan kepala rumah tangga, wajib mengatur dan mengarahkan keluarganya pada jalan kebenaran. Peran sebagai pemimpin berada di tangannya. Sebagai seorang pemimpin, selain mengarahkan kepada jalan kebenaran, ia wajib mensejahterakan yang dipimpinnya berupa nafkah. Pernyataan tersebut bukanlah memiliki dasar sama sekali, melainkan terdapat beberapa ayat dan hadis yang mendasarinya.
Di dalam ayat AL-Qur'an jelas tertulis bahwa sorang suami memiliki kewajiban dalam menafkahi sorang istri, sebagaimana dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya dalam Alquran surah al-Baqarah [2]: 232-233, yang artinya “Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’
Ayat ini menjadi dalil tegas, bahwa kewajiban memberi nafkah anak istri, berada di pundak para suami. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tafsir ayat di atas, “Bagi ayah, bertanggungjawab menafakahi dan memberi sandang yang ma’ruf.” Kemudian beliau menjelaskan makna ma’ruf pada ayat, “Yaitu nafkah yang layak sesuai yang berlaku di daerah yang dia tinggali, tanpa berlebihan dalam memberi nafkah dan juga tidak pelit.”
Selain itu dalam surah al-Nisa’ [4]: 34, Allah berfirman yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Serta dalam hadis Rasulullah saw bersabda: “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rezeki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR Muslim)
Dari dalil-dalil di atas kita bisa simpulkan bahwa kewajiban memberi nafkah kepada istri adalah merupakan kewajiban agama. Hal itu sudah dikuatkan oleh dalil Al-Quran Al-Karim dan Sunnah Nabawiyah. Sehingga tidak ada alasan bagi suami untuk mangkir dari kewajibannya. Bahkan meski istrinya itu kaya raya dan punya penghasilan sendiri. Secara dasar hukum, kewajiban suami tidak pernah gugur. Kecuali hanya bila ada kerelaan dari istri untuk tidak diberi nafkah bahkan bila dia rela untuk menafkahi suaminya.
Allah Swt telah memerintahkan suami untuk menafkahi istrinya. Apabila suami tidak melakukan kewajibannya itu, maka sudah pasti hukumnya dosa. Terlebih lagi jika suami tidak mau bekerja dengan alasan malas. Ia tidak berusaha dan mengandalkan kekayaan si istri, sungguh tindakan ini adalah tindakan tercela. Lantas bagaimana jika istri sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, apakah masih perlu sebagai seorang suami tetap menafkahinya?
Firman Allah dan Hadis sudah sangat jelas disebutkan bahwa kewajiban seorang suami adalah menafkahi istrinya, maka dalam hal ini meskipun seorang istri adalah wanita karir kewajiban seorang suami menafkahi sitri tidaklah gugur. Seorang suami masih harus berkewajiban menafkahi istrinya meskipun memiliki penghasilan. dalam hal ini jelas tidak ada komitmen untuk tidak memberi nafkah kepada istri yang bekerja, namun suami istri bisa berkomitmen untuk mendiskusikan berapa besar nafkah yang diberikan sesuai kesanggupan seorang suami dan istri juga menerimanya. Namun demikian terdapat kondisi-kondisi tertentu, bisa saja kewajiban memberi terhenti. Berikut halhal yang bisa membuat suami tidak bisa memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya menurut Zulfikar dari situs bincangsyariah.com:
- Pertama, nafkah terhadap istri dihentikan jika istri membangkang, atau tidak mengizinkan suami menggaulinya. Karena nafkah adalah konpensasi menikmatinya. Jadi jika suami tidak dapat menikmatinya, maka otomatis nafkah terhadapnya menjadi terhenti. Kedua, nafkah terhadap wanita yang ditalak dengan talak raj’i dihentikan jika masa iddahnya telah habis. Karena dengan selesainya wanita tersebut menjalani masa iddah, maka ia menjadi orang lain bagi suaminya.
- Ketiga, nafkah terhadap wanita hamil dihentikan jika ia telah melahirkan bayinya, namun jika menyusui anaknya, maka ia berhak mendapatkan upah atas susuannya. Karena Allah berfirman, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kalian dengan baik.” (QS at-Thalaq: 6)
- Keempat, nafkah terhadap orang tua dihentikan jika orang tuanya telah kaya, atau ia (anaknya) jatuh miskin dalam arti tidak mempunyai sisa uang dari makanan sehari-harinya. Karena Allah Swt tidak membebani seseorang kecuali dengan apa yang Dia berikan kepadanya.
- Kelima, nafkah terhadap anak laki-laki dihentikan jika telah balig dan nafkah terhadap anak perempuan dihentikan jika telah menikah. Namun, dikecualikan jika
Kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, meskipun istri bekerja dan memiliki penghasilan sendiri maka kewajiban seorang suami dalam menafkahi tersebut tetap dilakukan. namun bagaimana hukumnya jika sang suami tidak memberikan nafkah kepada sang istri?
Yuli Dwi Andreani dalam websitenya yulidwiandreaniii.wordpress.com menyebutkan Jika suami dengan sengaja menelantarkan dan menzhalimi istri dan anaknya dengan tidak memberikan nafkah, maka itu adalah kesalahan dan dia berdosa karena telah melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya. Istri dapat menuntut hak-haknya. Jika nafkah tersebut tidak dapat dipenuhi dan diberikan oleh suami maka istri pun dapat menuntutnya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Gugatan ini dapat berakibat kepada perceraian yang disebut dengan tafriq qadha’i (perceraian melalui Pengadilan Agama), sebagaimana tertuang dalam shighat ta’liq yang diikrarkan oleh suami saat setelah akad nikah berlangsung. Di antara poin-poinnya adalah sebagai berikut:
Jika suami melakukan salah satu dari keempat poin tersebut dan istri tidak ridha, maka istri dapat mengadukannya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu. Pengaduannya bisa dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri membayar uang pengganti atau ‘iwadh kepada suami. Jika proses ini berjalan dengan baik maka jatuh talak satu kepadanya.
Bagaimana jika suami tidak menafkahi istri karena memiliki penghasilan sendiri?
Jika seorang istri meridhoi hal tersebut maka tidak menjadi masalah besar namun dalam hal, resiko yang didapat adalah berkurangnya kepemimpinan (qawam) seorang suami, lantaran dia bukanlah yang menanggung nafkah keluarganya. Sehingga secara psikis, dia ada di bahwa bayang-bayang istrinya.
Terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh dari artikel ini:
Yuli Dwi Andreani dalam websitenya yulidwiandreaniii.wordpress.com menyebutkan Jika suami dengan sengaja menelantarkan dan menzhalimi istri dan anaknya dengan tidak memberikan nafkah, maka itu adalah kesalahan dan dia berdosa karena telah melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya. Istri dapat menuntut hak-haknya. Jika nafkah tersebut tidak dapat dipenuhi dan diberikan oleh suami maka istri pun dapat menuntutnya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Gugatan ini dapat berakibat kepada perceraian yang disebut dengan tafriq qadha’i (perceraian melalui Pengadilan Agama), sebagaimana tertuang dalam shighat ta’liq yang diikrarkan oleh suami saat setelah akad nikah berlangsung. Di antara poin-poinnya adalah sebagai berikut:
- Meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut.
- Atau tidak memberi nafkah wajib kepadanya selama tiga bulan lamanya.
- Atau menyakiti badan/jasmani istri. Atau membiarkan (tidak memedulikan) istri selama enam bulan.
Jika suami melakukan salah satu dari keempat poin tersebut dan istri tidak ridha, maka istri dapat mengadukannya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu. Pengaduannya bisa dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri membayar uang pengganti atau ‘iwadh kepada suami. Jika proses ini berjalan dengan baik maka jatuh talak satu kepadanya.
Bagaimana jika suami tidak menafkahi istri karena memiliki penghasilan sendiri?
Jika seorang istri meridhoi hal tersebut maka tidak menjadi masalah besar namun dalam hal, resiko yang didapat adalah berkurangnya kepemimpinan (qawam) seorang suami, lantaran dia bukanlah yang menanggung nafkah keluarganya. Sehingga secara psikis, dia ada di bahwa bayang-bayang istrinya.
Terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh dari artikel ini:
- Seorang suami memiliki kewajiban mutlak untuk menafkahi istri dan anak-anaknya
- Tidak menafkahi istri karena telah bekerja akan mengurangi kepemimpinan (qawam) seorang suami.
- Seorang suami yang tidak menafkahi istri baik lahir maupun batin tidak menjadikan keluarga tersebut bercerai secara otomatis, melainkan pihak istri dapat melakukan gugatan perceraian.
- Pada dasarnya yang berkaitan dengan nafkah tergantung pada keridhoan istri dan suami untuk memberikan jalan yang terbaik, sebagai seorang suami harus berusaha agar dapat menafkahi keluarganya, dan tugas istri adalah taat kepada suami serta memperoleh hak yang dapat di spakati, jika memang belum memenuhi boleh membantu suami dalam hal keuangan jika diridhoi.
- https://bincangsyariah.com/kalam/suami-boleh-tidak-menafkahi-keluarga-ini-penyebabnya/
- https://konsultasisyariah.com/30812-ketika-suami-pelit-menafkahi-istri.html
- https://manhajuna.com/istri-bekerja-masih-wajibkah-suami-memberi-nafkah-lahir/
- https://yulidwiandreaniii.wordpress.com/2013/12/27/suami-tidak-menafkahi-istri-bagaimana-sanksinya/
- https://wolipop.detik.com/wedding-news/d-2441708/pakar-pernikahan-hari-gini-banyak-suami-tak-sadar-nafkahi-istri-itu-wajib
No comments:
Post a Comment