Bid'ah & Dasar Naqlinya.





1.      Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala perbuatan yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab (dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, seperti pengamalan terhadap ketentuan nishab zakat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang ‘Umar lakukan terhadap kaum Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat lainnya di jazirah Arab. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592)].
2. Dasar naqli yang mendasari bid’ah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mengatakan “seluruh bid’ah sesat” namun Beliau mengatakan “kullu bid’atin dholalah“ Dalam memahami ilmu agama janganlah menggunakan akal pikiran sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad) Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani) Yang dimaksud menggunakan akal pikiran sendiri adalah akal pikiran mendahului dalil naqli atau akal pikiran mendahului firmanNya atau akal pikiran mendahului sunnah Rasulullah. Akal pikiran mendahului dalil naqli atau akal pikiran mendahuli firmanNya dikatakan sebagai upaya pembenaran. Seharusnya adalah akal pikiran mengikuti dalil naqli atau akal pikiran mengikuti firmanNya atau akal pikiran mengikuti sunnah Rasulullah Akal pikiran mengikuti dalil naqli atau akal pikiran mengikuti firmanNya dikatakan sebagai upaya mengikuti kebenaran.

No comments:

Post a Comment