Bid'ah (Arab:بدعة) adalah perbuatan dalam beribadah yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan. Secara linguistik, istilah ini memiliki arti inovasi, pembaruan, atau doktrin sesat. Dalam pengertian tersebut menunjukan bahwa bid'ah berlaku untuk masalah yang berkaitan dengan ibadah dengan sang maha kuasa.
Bid‘ah (Bahasa Arab: بدعة) dalam agama Islam berarti sebuah peribadahan yang tidak pernah diperintahkan ataupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad, tetapi banyak dilakukan oleh umatnya. Hukum dari bid'ah menurut pendapat para ulama Salaf adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
Pemakaian kata bid'ah tersebut di antaranya ada pada :
Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ ”(Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)
Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ ” Katakanlah (hai Muhammad), “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (Q.s:46:9)
Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.
Perkataan هذاأمرٌبديعٌ Maknanya: Sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya. Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama. Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut bid’ah (dalam segi bahasa). Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum perna dikerjakan orang juga disebut bid’ah (dalam segi bahasa). Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.
Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah). Para ulama Salaf telah memberikan beberapa definisi bid'ah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah). Para ulama Salaf telah memberikan beberapa definisi bid'ah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat. Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah. Ibnu Rajab, bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa Imam as-Suyuthi, beliau berkata, bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.
Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point yaitu: Pertama Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah. Kedua Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala, (Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi). Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah. Ketiga Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al 'Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash-Shahiihah no.937 dan al-Irwa no.2455). Keempat Bahwa bidah dalam agama kadang-kadang menambah dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah.
Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point yaitu: Pertama Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah. Kedua Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala, (Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi). Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah. Ketiga Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al 'Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash-Shahiihah no.937 dan al-Irwa no.2455). Keempat Bahwa bidah dalam agama kadang-kadang menambah dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah.
Dari paparan diatas sangat jelas sekali bahwa urusan ibadahlah yang harus kita perhatikan dan sesuaikan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur'an dan As-Sunah. Adanya pemurnian dan pembaharuan yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunah memang sangat untuk membersihkan ajaran-ajaran yang dinilai Bid'ah. Sangat tidak logis jika masalah Bid'ah juga diterapkan untuk urusan duniawiah, karena jelas dalam aspek dunia sesuatu hal yang baru dan itu tujuannya untuk kemaslahatan umat manusia boleh dilakukan karena memang secara khusus tidak tercantum di Al-Qur'an dan As-Sunah namun secara umum sangat jelas bahwa penciptaan hal-hal baru dalam urusan dunia diperbolehkan.
Sumber: Wikipedia
No comments:
Post a Comment