Nuzul dan Syubhat Para Orientalis
Pengertian Wahyu
Wahyu adalah Isyarat yang cepat. Al Wahyu
atau wahyu adalah kata masdar (infinitif); dan materi kata itu menunjukkan dua
pengertian dasar yaitu : tersembunyi dan cepat. Oleh karena itu, maka dikatakan
bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi :
1.
Ilham
sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa AS :
وأوحينا إلي إم
موسى أن أرضعيه
"Dan Kami ilhamkan kepada Ibu Musa, "Susuilah
dia.." QS. Al Qashshash : 7
2.
Ilham
yang berupa naluri binatang, seperti wahyu kepada lebah :
وأوحي ربك إلى
النحل أن اتخذى من الجبال بيوتا ومن الشجر ومما يعرشون
"Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, "Buatlah
sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di rumah-rumah yang didirikan
manusia." QS. An Nahl : 68.
3.
Isyarat
yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al
Qur'an :
فخرج على قومه من
المحراب فأوحى إليهم أن سبحوا بكرة وعشيا
"Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat
kepada mereka." QS. Maryam : 11.
4.
Bisikan
dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk terlihat indah dalam diri
manusia.
وإن الشياطين
ليوحون إلى أوليا ئهم ليجادلوكم
"Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu." QS. Al An'am : 121
5.
Apa
yang disampaikan Allah kepada para malaikatNya berupa suatu
إذ يوحى ربك إلى
الملائكة أنى معكم فثبتوا الذين امنوا
"Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang
yang beriman." QS. Al Anfal : 12.
Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam
Risalatut Tauhid sebagai "Pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam
dirinya dengan disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik
melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara terjelma dalam
telinganya atau tanpa suara sama sekali.
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan
pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara
wahyu dengan suara hati atau kasyf tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir
definisi meniadakan hal itu.[1]
Awal Turunnya
Tingkatan-Tingkatan Wahyu
Ibnul
Qayyim menyebut tentang tingkatan wahyu :
1.
Mimpi
yang benar. Tingkatan ini merupakan asas bagi wahyu yang diterima oleh
Rasulullah SAW.
2.
Wahyu
yang dibisikkan oleh malaikat ke dalam hati beliau tanpa terlihat oleh beliau,
sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi SAW, "Sesungguhnya Ruhul Qudus
(Jibril) membisikkan ke dalam hatiku bahwasanya seseorang tidak akan mati
sebelum diberikan semua rezekinya. Maka, bertaqwalah kepada Allah dan
baguskanlah pencarian kamu. Terlambatnya rezeki jangan sampai membuat kami
mencarinya dengan cara maksiat, sebab apa yang ada di sisi Allah tidak akan
diperoleh kecuali dengan taat kepadaNya."
3.
Malaikat
datang kepada Rasulullah SAW dalam wujud seorang lelaki, lalu berbicara kepada
beliau sampai beliau memahami apa yang disampaikannya. Dalam keadaan seperti
ini malaikat terkadang dilihat oleh para sahabat.
4.
Jibril
datang kepada beliau seperti bunyi lonceng. Tingkatan wahyu seperti ini
merupakan tingkat yang terberat bagi beliau, sebab Jibril merasuk ke dalam
tubuh beliau. Sehingga dahi beliau mencucurkan keringat walaupun udara dalam
keadaan sangat dingin. Jika hal itu terjadi ketika beliau sedang mengendarai
onta, maka ontanya berlutut. Suatu ketika, wahyupernah datang dalam bentuk
seperti itu, yakni di saat beliau sedang menumpangkan pahanya di atas paha Zaid
bin Tsabit. Demikian beratnya dirasakan oleh Zaid sehingga tulang pahanya
serasa hancur.
5.
Rasulullah
SAW melihat Jibril dalam bentuk aslinya, lalu Jibril mewahyukan kepada beliau
apa saja yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan kepada beliau. Hal ini
terjadi dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat An Najm.
6.
Wahyu
yang disampaikan oleh Allah kepada beliau, ketika beliau berada di atas langit,
pada malam mi'raj, seperti tentang kewajiban shalat dan lain-lain.
7.
Firman
Allah kepada beliau tanpa perantara malaikat sebagaimana Allah berbicara kepada
Musa bin Imran. Tingkatan seperti ini telah terjadi pada diri Musa berdasarkan
nash Al Qur'an dan terjadi pula pada diri Nabi SAW berdasarkan hadits Isra'.
Sebagian mereka menambahkan
tingkatan yang kedelapan, yaitu Allah berbicara kepada beliau tanpa hijab.
Masalah ini merupakan masalah yang diperselisihkan di kalangan Ulama Salaf
maupun Khalaf. Pendapat yang benar adalah bahwa tingkatan kedelapan ini tidak
terjadi.[2]
Kaifiyah Nuzulnya Al Qur'an
Cara wahyu Allah turun kepada Malaikat
1.
Di
dalam Al Qur'an terdapat ayat yang menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada
para malaikat tanpa perantara dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para
malaikat itu.
إذ يوحى ربك إلى
الملائكة أنى معكم فثبتوا الذين امنوا
"Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang
yang beriman." QS. Al Anfal : 12.
Terdapat hadits riwayat
Thabrani menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara dan para
malaikat mendengarkannya. Dan pengaruh wahyu itu pun sangat dahsyat.
2.
Telah
nyata pula bahwa Al Qur'an telah dituliskan di Lauhul Mahfudz. Berdasarkan
firman Allah :
بل هو قرأن مجيد
فى لوح محفوظ
"Bahkan ia adalah Al Qur'an yang mulia yang tersimpan di
Lauhul mahfudz." QS. Al Buruj : 22.
Demikian pula bahwa Al
Qur'an itu diturunkan sekaligus ke Baitul 'Izzah yang berada di langit dunia
pada malam lailatul qadar di bulan Ramadhan.
شهر رمضان الذى
أنزل فيه القرأن
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al
Qur'an." QS. Al Baqarah : 185.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai cara
turunnya wahyu Allah yang berupa Al Qur'an kepada Jibril dengan beberapa
pendapat :
a.
Bahwa
Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafadznya yang khusus.
b.
Bahwa
Jibril menghafalnya dari Lauhul Mahfudz.
c.
Bahwa
maknanya disampaikan Jibril, sedang lafadnya adalah lafadz Jibril atau lafadz
Muhammad SAW.
Pendapat pertama itulah yang benar dan
pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlussunnah wal Jama'ah, serta
diperkuat oleh hadits Nawas bin Sam'an. Al Qur'an adalah kalam Allah dengan
lafadznya, bukan lafadz Jibril atau kalam Muhammad SAW. Sedang pendapat kedua
tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al Qur'an di Lauhul Mahfudz itu
seperti hal-hal ghaib yang lain termasuk Al Qur'an.
Cara wahyu Allah turun kepada Para
Rasul
Allah memberikan wahyu kepada para RasulNya
ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
Yang pertama : Melalui
Jibril, malaikat pembawa wahyu.
Yang kedua : Tanpa
melalui perantaraan, diantaranya ialah mompi yang benar dalam tidur.
a.
Mimpi
yang benar di dalam tidur.
عن عائشة رضى الله عنها قالت أول ما بدئ به النبي صلى
الله عليه و سلم الرؤيا الصالحة فى النوم فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصبح
"Dari
'Aisyah RA dia berkata, "Sesungguhnya apa yang mul-mula terjadi bagi
Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat
mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari." Muttafaq
'Alaihi.
Diantara alasan yang
menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para Nabi adalah wahyu yang wajib
diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.
b.
Yang
lain adalah kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Yang demikian
itu terjadi pada Musa AS.
ولما
جاء موسى لميقاتنا وكلمه ربه قال رب أرنى أنظر إليك
"Dan
tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan
dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, "Wahai Tuhan,
tampakkanlah diriMu kepadaku agar aku dapat melihat Engkau." Al A'raf :
143.
Cara Penyampaian wahyu oleh Malaikat kepada Rasul
Ada dua cara penyampaian wahyu
oleh Malaikat kepada Rasul :
Cara pertama : Datang kepadanya suara
seperti dencingan lonceng dan suara amat kuat yang mempengaruhifaktor-faktor
kesadaran, sehinga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu.
Cara ini paling berat buat Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah
SAW dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk
menerima, menghafal dan memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan
sayap-sayap para Malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits, "Apabila
Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan
sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di
atas batu-batu yang licin." HR. Bukhari. Dan mungkin pula suar Malaikat
itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kali.
Cara kedua : Malaikat menjelma kepada
Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu
lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara
pembicara dengan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengarkan dari utusan
pembawa wahyu itu, karena merasa seperti seorang manusia yang berhadapan dengan
saudaranya sendiri.
Tentang hal ini terdapat riwayat dari 'Aisyah
Ummul Mukminin RA, bahwa Harits bin Hisyam RA bertanya kepad Rasulullah SAW
tentang turunnya wahyu, dan jawab Nabi, "Kadang-kadang ia datang kepadaku
bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi
dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang Malaikat menjelma
kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku dan aku pun
memahami apa yang dia katakan."
'Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami
Rasulullah berupa kepayahan, "Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang
turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Lalu Malaikat itu pergi,
sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah." HR. Bukhari.[3]
Keraguan Orang-Orang Yang Ingkar Terhadap Wahyu
SIRAH NABAWIYAH ALBUTHI, HLM. 57.
Hadits permulaan wahyu ini merupakan asas
yang menentukan semua hakikat agama dengan segala keyakinan dan syari'atnya.
Memahami dan meyakini kebenarannya merupakan persyaratan mutlak untuk meyakini
semua berita ghaib dan masalah syari'at yang dibawa oleh Nabi SAW. Sebab
hakikat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara manusia yang
berpikir dan membuat syari'at dengan akalnya sendiri, dan manusia yang hanya
menyampaikan (syari'at) dari Rabbnya tanpa mengubah, mengurangi atau menambah.
Itulah sebabnya, maka para musuh Islam
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fenomena wahyu dalam kehidupan
Nabi SAW. Berbagai argumentasi mereka kerahkan untuk menolak kebenaran wahyu
dan membiaskannya dengan ilham (inspirasi) dan bahkan dengan sakit ayan. Ini
karena mereka menyadari bahwa masalah wahyu merupakan sumber keyakinan dan
keimanan kaum Muslim kepada apa yang dibawa oleh Muhammad SAW dari Allah. Jika
mereka berhasil meragukan kebenaran wahyu, maka mereka akan menolak segala
bentuk keyakinan dan hukumn yang bersumber dari wahyu tersebut. Selanjutnya
mereka akan berhasil mengembangkan permikiran bahwa semua prinsip dan hukum
syari'at yang diserukan Muhammad SAW hanyalah bersumber dari pemikiran sendiri.
Untuk merealisasikan tujuan ini, para musuh
Islam tersebut berusaha menafsirkan fenomena wahyu dengan berbagai penafsiran
palsu. Mereka memberikan aneka penafsiran palsu sesuai dengan seni imajinasi
yang mereka rajut sendiri. Debagian menggambarkan bahwa Muhammad SAW terus
merenung dan berpikir sampai terbentuk di dalam benaknya, secara
berangsur-angsur, suatu aqisah yang dipandangnya cukup untuk menghancurkan
paganisme (Watsaniyah). Ada
pula yang mengatakan bahwa Muhammad SAW belajar Al Qur'an dan prinsip-prinsip
Islam dari pendeta Bahira. Bahkan ada yang menuduh Muhammad SAW adalah orang
yang berpenyakit syaraf atau ayan.
Bila kita perhatikan tuduhan-tuduhan naif
seperti ini, maka akan kita ketahui dengan jelas rahasia Ilahi mengapa permulaan
turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW dengan cara yang telah kami sebutkan dalam
hadits Bukhari di atas.
Mengapa Rasulullah SAW melihat Jibril dengan
kedua mata kepalanya untuk pertama kali, padahal wahyu bisa diturunkan dari
balik tabir?
Mengapa Rasulullah SAW takut dan terkejut
memahami kebenarannya, padahal cinta Allah kepada Rasulullah SAW dan
pemeliharaanNya kepadanya semestinya cukup untuk memberikan ketenangan di
hatinya sebingga tidak timbul rasa takut lagi?
Mengapa Rasulullah SAW khawatir terhadap
dirinya kalau-kalau yang dilihatnya di gua Hira' itu adalah makhluk halus dari
Jin?
Mengapa Rasulullah SAW tidak memperkirakan
bahwa itu adalah makhluk utusan Allah?
Mengapa setelah itu wahyu terputus sekian
lama sehingga menimbulkan kesedihan yang mendalam pada diri Nabi SAW sampai
timbul keinginan untuk menjatuhkan diri dari atas gunung?
Pertanyaan-pertanyaan ini wajar dan alamiah
sesuai dengan bentuk permulaan wahyu tersebut. Dari jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini, kelak akan terungkap suatu kebenaran yang dapat
menghindarkan setiap orang yang berpikiran sehat dari perangkap para musuh
Islam dan pengaruh rajutan imajinasi palsu mereka.
Bantahannya
Ketika sedang tenggelam dalam khalwatnya di
gua Hira', Rasulullah SAW dikejutkan oleh Jibril yang muncul dan terlihat di
hadapannya seraya berkata kepadanya, "Bacalah" Hal ini menjelaskan
bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber dari inspirasi atau
intuisi. Tetapi merupakan penerimaan terhadap haqiqah khairiyah (kebenaran yang
bersumber dari 'luar') yang tidak ada kaitannya dengan inspirasi, pancaran hati
atau intuisi.
Timbulnya rasa takut dan cemas pada diri Nabi
SAW ketika mendengar dan melihat Jibri, sampai beliau memutuskan khalwatnya dan
segera pulang dengan hati gundah, merupakan suatu bukti nyata bagi orang yang
berakal sehat bahwa Nabi SAW tidak pernah sama sekali merindukan risalah yang
dibebankanNya untuk disebarkannya ke segenap penjuru dunia ini.
Selain itu, masalah inspirasi, intuisi,
bisikan batin atau perenungan ke alam atas, tidak mengundang timbulnya rasa
takut dan cemas. Tidak ada korelasi antara perenungan dan perasaan takut dan
terkejut. Jika demikian, tentu semua pemikir dan orang yang melakukan
kontemplasi akan selalu dirundung rasa takut dan cemas.
Anda tentu mengetahui bahwa perasaan takut,
terkejut dan menggigil sekujur badan tidak mungkin dapat dibuat-buat. Sehingga
jelas tidak dapat diterima jiak ada orang mengandalkan Rasulullah SAW melakukan
tersebut.
Kemudian, ilham Allah kepada Khadijah untuk
membawa Nabi SAW menemui Waraqah bin Naufal menanyakan permasalahannya,
merupakan penegasan lain bahwa yang mengejutkannya itu hanyalah wahyu yang
pernah disampaikan kepada para Nabi sebelumnya. Di samping untuk menghapuskan
kecemasan yang menyelubungi jiwa Rasulullah SAW karena menafsirkan apa yang
dilihat dan didengarnya.
Terhentinya wahyu setelah itu selama enam
bulan atau lebih, mengandung mu'jizat Ilahi yang mengagumkan. Karena hal ini
merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para orientalis yang menganggap
wahyu sebagai produk perenungan panjang yang bersumber dari dalam diri Muhammad
SAW.
Sesungguhnya keadaan dan peristiwa yang
dialami oleh Nabi SAW ini membuat pemikiran yang mengatakan bahwa wahyu
merupakan intuisi, sebagai suatu pemikiran gila. Sebab, untuk menumbuhkan
inspirasi dan intuisi tidak perlu menjalani keadaan seperti itu.
Dengan demikian, hadits permulaan wahyu yang
tersebut dalam riwayat shahih merupakan senjata yang menghancurkan segala
serangan musuh-musuh Islam menyangkut masalah wahyu dan kenabian Muhammad SAW.
Dari sini kita dapat memahami mengapa permulaan penurunan wahyu dilakukan Allah
sedemikian rupa.
Orang-orang Jahiliyah baik lama ataupun yang
modern selalu berusaha utnuk untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan
sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu lemah sekali dan tidak
dapat diterima.
1.
Mereka
mengira bahwa Al Qur'an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan
dia sendiri pula yang menyusun "bentuk gaya bahasanya"; Al Qur'an bukanlah
wahyu. Ini adalah sangkaan batil. Apabila Rasulullah SAW menghendaki kekuasaan
untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk
mendukung kekuasaan dirinya, tidak perlu ia menisbatkan semua itu kepada pihak
lain. Dapat saja menisbatkan Al Qur'an kepada dirinya sendiri, karena hal itu
cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadi manusia tunduk kepada
kekuasaannya. Sebab kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan dan
retorikanya tidak juga mampu menjawab tantangan itu. Sangkaan ini menggambarkan
bahwa Rasulullah SAW termasuk pemimpin yang menempuh cara-cara berdusta dan
palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu tertolak oleh kenyataan sejarah
tentang perilaku Rasulullah SAW, kejujuran dan keterpercayaannya yang terkenal,
yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan
sendiri.
2.
Orang-orang
Jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah SAW mempunyai
ketajaman firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang
benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk,
benar dan salah melalui Ilham (inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang
rumit melalui kasyaf, sehingga Al Qur'an itu tidak lain daripada hasil
penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya
bahasa dan retorikanya.[4]
Kesesatan Ahli Ilmu Kalam
Para ahli Ilmu Kalam telah
tenggelam dalam cara-cara para filsuf dalam menjelaskan kalam Allah sehingga
mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Mereka
membagi kalam Allah menjadi dua bagian : Kalam Nafsi yang kekal yang ada pada
dzat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa; dan
kalam lafdzi (verbal), yaitu yang diturunkan kepada para Nabi AS yang
diantaranya adalah empat buah kitab. Para ahli
Ilmu Kalam ini semakin tenggelam dalam perselisihan skolastik yang mereka
adakan : Apakah Al Qur'an dalam pengertian kalam lafdzi, makhluk atau bukan?
Mereka memperkuat pendapat bahwa Al Qur'an dalam pengertian kalam lafdzi di
atas adalah makhluk. Dengan demikian, mereka telah keluar dari jalan para
mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nashnya dalam Kitab dan Sunah. Mereka
juga menggarap sifat-sifat Allah dengan analisis filosofis yang hanya
menimbulkan keraguan dalam aqidah Tauhid.
Sedang madzhab ahlu Sunah wal Jama'ah
menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah
atau ditetapkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang datang dari Nabi.
Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat diantara
sekian sifat Allah.
Kemudian berlanjutnya wahyu setelah itu
menunjukkan kebenaran wahyu dan bukan seperti yang dikatakan oleh musuh-musuh
Islam sebagai fenomena kejiwaan. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa hal
berikut :
1.
Perbedaan
yang jelas antara Al Qur'an dan Al Hadits. Nabi SAW memerintahkan para
sahabatnya agar mencatat Al Qur'an segera setelah diturunkan. Sementara untuk
hadits, Nabi SAW hanya memerintahkan agar dihapal saja. Bukan karena hadits itu
sebagai perkataan dari dirinya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan
kenabian, tetapi karena Al Qur'an itu diwahyukan kepadanya dengan makna dan
lafadznya dari Rasulullah. Nabi SAW sering memperingatkan para sahabatnya agar
jangan sampai mencampur-adukkan kalam Allah dengan sabdanya.
2.
Nabi
SAW sering ditanya tentang beberapa masalah, tetapi beliau tidak langsung
menjawabnya.
3.
Rasulullah
adalah seorang ummi. Tidak mungkin orang seperti ini dapat mengetahui –melalui
meditasi peristiwa- peristiwa sejarah, seperti kisah Yusuf, Ibu Musa ketika
menghanyutkan anaknya di sungai, kisah Fir'aun dan lainnya.
4.
Kejujuran
Nabi SAW selama empat puluh tahun bergaul bersama kaumnya sehingga dikenal di
kalangan mereka sebagai orang yang jujur dan terpercaya, membuat kita yakin
akan kejujurannya terhadap fenomena wahyu. Pasti Nabi telah berhasil mengusir
keraguan yang membayangi kedua matanya atau pikirannya.
No comments:
Post a Comment